BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Friday, 27 November 2009

Indahnya Akhlaq Umar Bin Abdul Aziz

Indahnya Akhlaq beliau….

“Khalifah Umar sangat terkenal dengan kegiatannya beronda pada malam hari di sekitar daerah kekuasaannya. Pada suatu malam beliau mendengar dialog seorang anak perempuan dan ibunya, seorang penjual susu yang miskin.

Kata ibu "Wahai anakku, segeralah kita tambah air dalam susu ini supaya terlihat banyak sebelum terbit matahari. Anaknya menjawab "Kita tidak boleh berbuat seperti itu ibu, Amirul Mukminin melarang kita berbuat begini"

Si ibu masih mendesak "Tidak mengapa, Amirul Mukminin tidak akan tahu". Balas si anak "Jika Amirul Mukminin tidak tahu, tapi Tuhan Amirul Mukminin tahu".

Umar yang mendengar kemudian menangis. Betapa mulianya hati anak gadis itu.

Ketika pulang ke rumah, Umar bin Khattab menyuruh anak lelakinya, Asim menikahi gadis itu.

Kata Umar, “Semoga lahir dari keturunan gadis ini bakal pemimpin Islam yang hebat kelak yang akan memimpin orang-orang Arab dan Ajam."

Asim yang taat tanpa banyak tanya segera menikahi gadis miskin tersebut. Pernikahan ini melahirkan anak perempuan bernama Laila yang lebih dikenal dengan sebutan Ummu Asim. Ketika dewasa Ummu Asim menikah dengan Abdul-Aziz bin Marwan yang melahirkan Umar bin Abdul-Aziz.


Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Kisah Umar bin Abdul Azis dimulai dari kisah hikmah yang dialami oleh Khalifah Umar Al-Khattab R.A

Umar melamar gadis (anak wanita dalam kisah diatas) itu untuk dinikahkan dengan putranya Ashim. Pernikahan pun berlangsung. Dari hasil perkawinan itu lahir anak seorang perempuan yang kelak dinikahi oleh Abdul Aziz bin Marwan. Dan kemudian lahirlah Umar bin Abdul Azis,Khalifah.

Beberapa kisah keteladanan Umar bi Abdul Aziz:

Fatimah binti Abdul Malik bin Marwan dibesarkan dalam sekolah Islam dan terdidik dengan ilmu Al-Qur’an. Ayahnya adalah seorang khalifah. Abdul Malik bin Marwan dan suaminya juga seorang khalifah, yakni Umar bin Abdul Aziz. Keempat saudaranya pun semua khalifah, yaitu Al Walid Sulaiman, Al Yazid, dan Hisyam.

Ketika Fatimah dipinang untuk Umar bin Abdul Aziz, pada waktu itu Umar masih layaknya orang kebanyakan bukan sebagai calon pemangku jabatan khalifah. Sebagai putera dan saudari para khalifah, perkawinan Fatimah dirayakan dengan resmi dan besar-besaran, dan ditata dengan perhiasan emas mutu-manikam yang tiada ternilai indah dan harganya. Namun sesudah perkawinannya selesai, sesudah Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi khalifah dan Amirul Mukminin, Umar langsung mengajukan pilihan kepada Fatimah, isteri tercinta. Umar berkata kepadanya, “Isteriku sayang, aku harap engkau memilih satu di antara dua.”

Fatimah bertanya kepada suaminya, “Memilih apa, kakanda?”

Umar bin Abdul Azz menerangkan, “Memilih antara perhiasan emas berlian yang kau pakai atau Umar bin Abdul Aziz yang mendampingimu.”

“Demi Allah,” kata Fatimah, “Aku tidak memilih pendamping lebih mulia daripadamu, ya Amirul Mukminin. Inilah emas permata dan seluruh perhiasanku.”

Hikmah 1 : Kezuhudan beliau dan keluarganya.

Kemudian Khalifah Umar bin Abdul Aziz menerima semua perhiasan itu dan menyerahkannya ke Baitulmal, khas Negara kaum muslimin. Sementara Umar bin Abdul Aziz dan keluarganya makan makanan rakyat biasa, yaitu roti dan garam sedikit.

Pada suatu hari raya puteri-puterinya datang kepadanya, “Ya Ayah, besok hari raya. Kami tidak punya baju baru…”

Mendengar keluhan puteri-puterinya itu, khalifah Umar berkata kepada mereka. “Wahai puteri-puteriku sayang, hari raya itu bukan bagi orang yang berbaju baru, akan tetapi bagi yang takut kepada ancaman Allah.”

Mengetahui hal tersebut, pengelola baitulmal berusaha menengahi, “Ya Amirul Mukminin, kiranya tidak akan menimbulkan masalah jika diberikan gaji di muka setiap bulan.”

Umar bin Abdul Aziz sangat marah mendengar perkataan pengurus Baitulmal. Ia berkata, “Celaka engkau! Apakah kau memiliki ilmu ghaib bahwa aku akan hidup hingga esok hari!?”

Hikmah 2 : Menyadari beratnya tanggung jawab seorang pemimpin

Ketika Umar bin Abdul Azis mendapat promosi, dari Gabenur Madinah menjadi Khalifah, ia menangis dan pengsan. Ia menyatakan, bahwa beban kewajiban seberat ribuan gunung telah diletakan kepundaknya, pada hal untuk mengurus diri sendiri pun ia merasa belum mampu. Sekarang di beri amanah mengurus umat. Setelah Umar bin Abdul Aziz RA dilantik menjadi Khalifah, beliau pergi ke mushallahnya dan menangis tersedu-sedu. Ketika di tanyakan kepadanya tentang penyebab tangisnya, beliau menjawab,” aku memikul amanat umat ini dan aku tangisi orang -orang yang menjadi amanat atasku, yaitu kaum fakir miskin yang lemah dan lapar, ibnu sabil yang kehilangan tujuan dan terlantar, orang-orang yang di zalimi dan di paksa menerimanya, orang-orang yang banyak anaknya dan berat beban hidupnya. Merasa bertanggung jawab atas beban mereka, karena itu, aku menangisi diriku sendiri karena beratnya amanat atas diriku.”

Konon semasa ia menjabat sebagai Khalifah, tak satu pun mahluk dinegerinya menderita kelaparan. Tak ada serigala mencuri ternakan penduduk kota, tak ada pengemis di sudut-sudut kota, tak ada penerima zakat karena setiap orang mampu membayar zakat. Lebih mengagumkan lagi, penjara tak ada penghuninya. Sejak di angkat menjadi Khalifah Umar bertekad, dalam hatinya ia berjanji tidak akan mengecewakan amanah yang di berikan kepadanya.

Hikmah 3 : Bagaimana seharusnya sikap seorang pemimpin.

Salah seorang Gabenurnya menulis surat. Isinya minta dana untuk membangun benteng sekeliling kota. Khalifah membalas suratnya. "Apa manfaatnya membangun benteng ? Bentengilah ibu kota dengan keadilan, dan bersihkan jalan-jalannya dari kezaliman.” Ada pepatah mengatakan,”seorang alim harus mengajar dirinya sebelum mengajar orang lain, dan hendaknya mengajar dengan prilakunya sebelum mengajar dengan ucapan -ucapannya.” Pepatah itu pasti untuk peribadi Umar bin Abdul Aziz.

Hikmah 4 : Berhati-hati, Halallan Toyyiban & Menghindari hal yang syubhat

Suatu hari Khalifah Umar bin Abdul Aziz mendapat hidangan sepotong roti yang masih hangat, harum dan membangkitkan selera dari isterinya.

"Dari mana roti ini?” tanyanya.

” buatan saya sendiri,” jawab isterinya.

” Berapa kau habiskan wang untuk membeli terigu dan bumbu-bumbunya?”

"hanya tiga setengah dirham saja,” jawab isterinya.

” Aku perlu tahu asal usul benda yang akan masuk kedalam perutku, agar aku dapat mempertanggung jawabkannya di hadirat Allah SWT. Wang tiga setengah dirham itu dari mana ?”

"Setiap hari saya menyisihkan setengah dirham dari wang belanja yang anda berikan, wahai Amirul Mukminin, sehingga dalam seminggu terkumpul tiga setengah dirham. Cukup untuk membeli bahan-bahan roti yang halalan thayyiban,” kata isteri Khalifah menjelaskan.

” Baiklah kalau begitu. Saya percaya, asal usul roti ini halal dan bersih. Namun, saya berpendapat lain. Ternyata biaya kebutuhan hidup kita sehari-hari perlu di kurangi setengah dirham, agar kita tidak mendapat kelebihan yang membuat kita mampu memakan roti atas tanggungan umat,” tegas Khalifah.

Dan sejak hari itu, umar membuat instruksi kepada bendaharawan Baitul Maal untuk mengurangi perbelanjaan harian keluarga Umar sebesar setengah dirham.

” Saya juga akan berusaha menganti harga roti itu, agar hati dan perut saya tenang dari gangguan perasaan, karena telah memakan harta umat demi kepentingan pribadi,” sambung Khalifah.

Disebutkan lagi, suatu ketika Amirul Mukminin Umar bin Abdil Azis, di kunjungi saudaranya. Maksudnya meminta tambahan sumbangan dari Baitul Maal. Ketika itu, Amirul Mukminin sedang makan kacang bercampur bawang dan adas, makanan rakyat awam. Umar menghentikan makannya, lalu mengambil sekeping wang logam satu dirham dan membakarny,.di bungkusnya wang itu dengan sepotong kain dan di berikannya kepada saudaranya seraya berkata,

” Inilah tambahan sumbangan wang yang saudaraku minta.”

Saudaraku menjerit kepanasan ketika menyentuh bungkusan berisi wang logam panas itu. Umar berkata,

” Kalau api dunia terasa sangat panas bagaimana kelak api neraka yang akan menbakar aku dan saudara ku karena menghianati amanah dan menyelewengkan harta kaum muslimin?”

Masya Allah, itulah berakah memegang amanah Allah. Betapa rezeki yang halal dengan izin Allah, bisa membentuk pribadi-pribadi keturunan yang menawan.

Hikmah 5 : Qiyamullail

Fatimah Rahimahullah berkata,
“Umar bin Abdul Aziz, jika masuk ke rumah, dia langsung menuju ke mushallanya, kemudian dia menangis dan berdo’a sampai kedua matanya lelah (tidur), kemudian bangun. Seperti itulah yang dia lakukan di setiap malam.” (Taarikh Khulafa, As-Suyuthi)

Fatimah Rahimahullah berkata,
“Mungkin ada orang yang lebih banyak mengerjakan shalat dan puasa daripada Umar bin Abdul Aziz, tetapi aku belum pernah melihat orang yang lebih takut kepada Tuhannya daripada Umar. Jika dia shalat Isya' terakhir (malam) dia menyendiri di mushallanya, lalu berdo’a dan menangis sampai kedua matanya tertidur. Kemudian bangun, berdoa dan menangis lagi sampai kedua matanya tertidur. Terus begitu sampai datang waktu shubuh.” (Az-Zuhud, Imam Ahmad)

Fatimah Rahimahullah berkata,
“Umar telah mengabdikan jiwa dan raganya untuk kepentingan manusia. Dia duduk untuk mereka di siang harinya, jika datang waktu sore dia masih melanjutkan tugasnya dalam memenuhi kebutuhan manusia sampai malam. Pada suatu sore dia sudah selesai dari tugas-tugasnya di siang hari, lalu dia mengambil lampu yang minyaknya diambil dari wangnya sendiri, kemudian berdiri dan shalat dua rakaat, kemudian dia merunduk dan meletakkan kepalanya di antara kedua tangannya, air matanya menetes di atas pipinya dan menangis tersedu-sedu. Demikianlah keadaannya pada malam itu sampai datang waktu subuh. Sedangkan pagi harinya dia berpuasa.” (Sirah Umar bin Abdul Aziz, Ibnu Al-Jau

Pada suatu malam, Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah bangun untuk shalat malam, lalu membaca firman Allah, “Wa al-laili izaa yaghsyaa” (QS. Al-Lail), sampai pada firman Allah, “Fa andzartukum naaran taladzdzaa“, dia menangis sehingga tidak mampu melanjutkan ayat selanjutnya surat itu, dua atau tiga kali, sampai kemudian beliau membaca surat lainnya. (At-takwiif min An-Naar, Ibnu Rajab)

Kisah yang lain,

Hikmah 6 :Kekhawatiranya pada hari Akhir

Umar bin Abdul Aziz tertarik waktu hamba sahaya itu bercerita.

“Ya, Amirul Mukminin. Semalam saya bermimpi kita sudah tiba di hari kiamat. Semua manusia dibangkitkan Allah, lalu dihisab. Saya juga melihat jambatan shiratal mustaqim.”

Umar bin Abdul Azis mendengarkan dengan saksama. “Lalu apa yang engkau lihat?” tanyanya.

“Hamba melihat satu per satu manusia diperintahkan berjalan melewati jembatan shiratal mustaqim. Penguasa Bani Umaiyah, Abdul Malik bin Marwan, hamba lihat ada di antara orang yang pertama kali dihisab. la berjalan melewati jambatan shiratal mustaqim. Tapi, baru dua langkah, dia sudah jatuh ke dalam jurang neraka. Saat ia jatuh, tubuhnya tak terlihat lagi. Hamba hanya mendengar suaranya. la terdengar menangis dan memohon ampun kepada Allah,” jawab hamba sahaya itu.

Umar bin Abdul Azis tertegun mendengar cerita itu. Hatinya gelisah.

“Lalu bagaimana?” ia bertanya dengan gundah.

“Setelah itu giliran putranya, Walid bin Abdul Malik bin Marwan. Ia juga terpeleset dan masuk ke dalam jurang neraka. Lalu tiba giliran para khalifah yang lain. Saya melihat, satu per satu mereka pun jatuh. Sehingga tidak ada yang sanggup melewati jambatan shiratal mustaqim itu,” kata sang hamba sahaya.

Umar bin Abdul Azis tercegat karena merasakan takut dan khawatir dalam dadanya. Sebab, ia juga seorang khalifah. la sadar, menjaga amanah kepemimpinan dan kekuasaan itu sangat berat. Dan ia pun yakin, setiap pemimpin harus bisa mempertanggungjawabkan kepemimpinannya. Tidak ada seorang pun yang akan lolos dari hitungan Allah.

Jantung Umar seketika berdegub kencang. Nafasnya memburu. Ia cemas, jangan-jangan nasibnya akan sama dengan para pemimpin lain yang dikisahkan hamba sahaya itu. Karena cemas dan takut, Umar bin Abdul Azis meneteskan air mata. Ia menangis.

“Ya Allah, apakah aku akan bernasib sama dengan mereka yang dilihat hamba sahaya ini di dalam mimpinya? Apakah aku telah berlaku tidak adil selama memimpin? Pantaskah aku merasakan surgaMu, ya Allah?” bisik Umar bin Abdul Azis di dalam hati. Air matanya kian deras mengalir.

“Lalu tibalah giliran Anda, Amirul Mukminin,” kata hamba sahaya itu.

Ucapan hamba sahaya itu menambah deras air mata Umar bin Abdul Azis. Umar kian cemas. Kecemasan Umar membuat tubuhnya gemetaran. Ia menggigil ketakutan. Wajahnya pucat. Matanya menatap nanar ke satu sudut ruangan.

Saat itu, Umar bin Abdul Azis mengingat dengan jelas peringatan Allah SWT, “Ingatlah pada hari mereka diseret ke neraka atas muka mereka. Dikatakan kepada mereka : Rasakanlah sentuhan api neraka.”

Hamba sahaya itu justru kaget melihat reaksi khalifah Umar bin Abdul Aziz yang luar biasa. Dalam hati, ia merasa serba salah. Sebab, ia sama sekali tidak punya maksud untuk menakut-nakuti khalifah. Ia sekadar menceritakan mimpi yang dialaminya.

Melihat kepanikan khalifah, hamba sahaya itu lalu berusaha menenangkan Umar bin Abdul Aziz. Namun, Umar bin Abdul Aziz belum bisa tenang. Maka, hamba sahaya itu pun meneruskan ceritanya dengan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, demi Allah, aku melihat engkau berhasil melewati jembatan itu. Engkau sampai di surga dengan selamat!”

Mendengar itu, Umar bin Abdul Azis bukan tersenyum apalagi tertawa. Ia diam. Cukup lama Umar tertegun. Cerita itu benar-benar membuatnya berpikir dan merenung.

Ada hikmah yang lalu dipetik Umar dari cerita itu. Dan sejak itu, ia menanamkan tekad untuk lebih berhati-hati dalam amanah kekuasaan. Itu adalah amanah Allah yang sangat berat.

Hikmah 7 : Mau mengambil pelajaran & diingatkan oleh orang yang lebih muda

Ketika Umar bin Abdul Aziz selesai menguburkan sepupunya, Sulaiman bin Abdul Malik (Amirul Mukminin yang menjabat sebelum dirinya), dia masuk ke kamar tidurnya untuk beristirahat sebentar. Akan tetapi dia mendengar suara ketukan pintu. Setelah dia tahu bahwa anaknya, Abdul Malik, meminta izin untuk masuk, maka ia mengizinkannya. Sesudah mengucapkan salam si anak berkata, “Wahai Amirul Mukminin, apa yang ingin kau kerjakan?”

“Aku akan tidur sebentar,” kata Umar
“Engkau tidur siang dan tidak mencegah kezaliman dari pelakunya,” kata anak itu.

“Wahai anakkku, sesungguhnya aku berjaga malam tadi untuk mengurus bapa saudaramu Sulaiman, setelah aku shalat Zhuhur nanti aku akan kembali mencegah kezaliman dari pelakunya,” kata Umar.

Si anak kemudian berkata kepada bapaknya, “Saya tidak tahu pasti apakah engkau tetap hidup sampai Zhuhur nanti, berdirilah sekarang wahai amirul mukminin, tolaklah kezaliman dari pelakunya pertama kali.”

Umar bin Abdul Aziz berkata, “Mendekatlah kepadaku wahai anakku.”

Si anak lalu mendekat, Umar kemudian mencium keningnya seraya berkata, “Segala puji milik Allah yang telah menjadikan dari tulang sulbiku orang yang membantuku dalam urusan agamaku.”

Kekuasaan Khalifah Umar bin Abdul Aziz hanya berusia tiga puluh bulan, tetapi kekuasaannya yang singkat itu bagi Allah Ta’ala bernilai lebih dari tiga puluh abad. Beliau meninggalkan dunia fana ini dalam usia muda, yakni pada usia empat puluh tahun.

Pada zaman pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, pasukan kaum muslimin sudah mencapai pintu kota Paris di sebelah barat dan negeri Cina di sebelah timur. Pada waktu itu kekuasaan pemerintahan di Portugal dan Sepanyol berada di bawah kekuasaannya.

Indahnya akhlaq beliau, semoga kelak akan muncul pemimpn di benua ini seperti beliau..

atau mungkin kelak pemimpin itu adalah anda? :)


0 comments: