BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Friday 3 July 2009

Akhlak umpama bunga

Akhlak umpama bunga

Bila bercakap tentang sekuntum bunga mawar, bayangan indah, harum semerbak akan tergambar di benak kalangan kita. Mawar adalah sekuntm bunga yang bukan sahaja indah dan cantik, bahkan harum pula. Ramai yang sukakan bunga ini. Lelaki atau perempuan semua menyukainya. Cuma kekadang lelaki agak egois untuk mengakuinya.

Dalam hidup bermasyarakat dan bersahabat, kita jadikanlah diri kita sebagai bunga yang disukai oleh semua orang. Bukan senang untuk mencuri hati semua orang. Lain manusia….lain pula perangainya. Tapi walau apapun manusia, mereka tetap mempunyai fitrah yang sama. Mungkin warna kulit tidak sama, citarasa berbeza tetapi fitrah mereka sama dan serupa.
Fitrah manusia sukakan akhlak yang mulia. Akhlak yang mulia umpama bunga mawar yang disukai setiap mata yang memandangnya.

Melihatnya sudah menyejukkan hati, bahkan kasih sayang pula ditebarkan seluasnya untuk dinikmati bersama. Akhlak mulia seperti selalu menghormati orang tua yang lemah, mengasihi kanak-kanak, menghargai kaum perempuan, tidak menyakitkan hati orang lain dan segala macam sifat mahmudah yang dijelmakan samaada secara zahir mahupun dalaman.

Akhlak dalam Islam mempunyai kedudukan yang tinggi. Akhlak termasuk dalam perkara-perkara yang asas dalam islam dan tidak dibenarkan berlakunya perselisihan pendapat yang berlaku padanya seperti wujud perselisihan pandangan dalam perkara ibadah dan sebagainya.

Akhlak diletakkan dalam keutamaan agama pada kedudukan yang kedua selepas soal akidah.
Bahkan tuhan sendiri dalam Al Quran, menyatakan bahawa tujuan Rasullulah diutuskan adalah untuk menyempurnakan akhlak umat manusia. Memang dalam masyarakat pada fitrahnya adalah berakhlak mulia, tapi kedatangan Rasullulah adalah untuk menyempurnakan lagi dan memperkukuhkan lagi supaya selaras dengan fitrah Islam sendiri.

Bagaimana akhlak boleh lahir? Sekuntum bunga yang mekar lahir dari pohon yang subur dan sihat. Begitulah akhlak yang mulia; ia lahir daripada tapak IMAN kepada Allah yang kukuh. Rasullulah pernah menyatakan bahawa “ kamu tidak akan masuk syurga jika kamu tidak beriman, dan kamu tidak dikira beriman jika kamu tidak berkasih sayang…” ini menunjukkan wujud perkaitan antara iman dan akhlak. Jika iman itu baik, akan lahirlah akhlak yang baik. Begitulah jua yang berlaku sebaliknya. Akhlak ialah manifestasi dari keimanan yang teguh pada Allah.

Iman pada Allah ialah percaya bahawa Allah adalah tuhan dan kita adalah makhluk ciptaanNya. Semua manusia adalah sama disisi Allah. Dengan mengakui ketuhanan dan ketuanan Allah, secara automatik rasa bangga diri, ego, rasa hebat, menghina orang lain akan terhapus dengan sendiri. Bila rasa –rasa ini terhapus, rasa hormat, rasa kasih sayang, rasa bangga dengan orang lain akan datang dengan sendirinya.

Orang yang berakhlak mulia akan disukai oleh semua orang. Pandai mengambil hati orang lain sekalipun emosi sendiri terpaksa dikorbankan. Memang sukar untuk menjadikan kita disukai oleh orang. Cakap soal akhlak yang baik adalah senang, tapi bagaimana untuk berakhlak itu dalah susah.

FATHIMAH AZ-ZAHRA Puteri Ke empat

FATHIMAH AZ-ZAHRA, IBU BAGI BAPAKNYA

Pemimpin wanita pada masanya ini adalah puteri ke-4 dari anak-anak Rasulullah j, dan ibunya adalah Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid. Sesungguhnya Allah telah menghendaki kelahiran Fatimah yang mendekati tahun ke-5 sebelum Muhammad diangkat sebagai Rasul diiringi dengan peristiwa yang sangat besar, yang menjadikan kaum Quraisy ridha terhadap Muhammad. Yakni sebagai pemutus perselisihan sengit yang terjadi di kalangan mereka. Berkaitan dengan peletakkan batu hitam (Hajar Aswad) setelah bangunan Ka’bah diperbaharui. Dengan kecerdasan akal beliau Shalallahu ‘alaihi wassalaam perselisihan itu mampu diselesaikan dan pedang-pedang pun disarungkankembali setelah sebelumnya dihunus untuk berperang diantara kabilah-kabilah.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalaam merasa gembira dengan kelahiran Fathimah dan nampaklah tanda berkah dan kebaikan pada dirinya. Beliau memberi nama Fathimah dan memberi julukan Az-Zahra. Sedangkan kunyahnya adalah Ummu Abiha (ibu bagi bapaknya).

Ia puteri yang paling mirip dengan ayahnya. Fathimah tumbuh di bawah asuhan ayahnya yang penyayang. Rasulullah selalu memperhatikan pendidikan Fathimah agar ia bisa mengambil pelajaran yang banyak dari beliau berupa adab, kasih sayang dan bimbingan yang lurus. Seperti yang telah didapat oleh ibunya, Khadijah, berupa sifat-sifat yang suci dan perangai yang terpuji. Dengan dasar itu Fathimah tumbuh di atas kesucian yang sempurna, kemuliaan jiwa, cinta kepada kebaikan dan berakhlak baik. Ia mampu mengambil keteladanan yang tinggi dari ayahnya dalam segala perbuatan dan tingkah laku.

Saat mencapai usia 5 tahun, Fathimah Az-Zahra melihat perubahan yang sangat besardalam kehidupan ayahnya disebabkan wahyu mulai turun kepada beliau. Ia merasakan mulai munculnyapermasalahan pada dakwah yang diemban ayahnya. Ia pun menyaksikan ibunya selalu berada di samping ayahnya ikut serta berbagai peristiwa besar yang dihadapi ayahnya. Fathimah menyaksikan berbagai tipu daya dilakukan orang-orang kafir terhadap ayahnya. Ia berharap seandainya dirinya mampu menggantikan apa yang dihadapi ayahnya dengan kehidupannya dan mencegah kaum musyirikin kepada bapaknya. Tetapi bagaimana ia mampu melakukan hal itu sedangkan dirinya masih kecil!

Di antara penderitaan yang amat berat di awal dakwah adalah pemboikotan yang dilakukan terhadap kaum muslimin. Kaum muslimin diboikot bersama Bani Hasyim di lembah Abu Thalib yang mengakibatkan kelaparan dan hal ini mempengaruhi kesehatan Fathimah. Namun dalam kondisi yang lemah, selama hidupnya ia tetap membantu ayahnya. Ketika Fathimah yang masih kecil ini berhasil melewati ujian pemboikotan yang keras itu, ia dikejutakan denganujian baru berupa kematian ibunya, Khadijah. Ia pun sangat sedih dengan kematian ibunya.

Setelah ibunya wafat, Fathimah memiliki peran dan tanggung jawab yang besar di depan ayahnya sebagai seorang Nabi yang mulia yang semakinbanyak rintangan dakwah khususnya setelah kematian pamannya yaitu Abu Thalib dan istrinya yang selalu menepati janji. Penderitaan yang berlipat-lipat dan berbagai peristiwa itu dihadapi Fathimah dengan sabar karena mencari pahala di sisi Allah. Ia menempatkan dirinya di samping ayahnya untuk memberikan bakti sebagai pengganti ibunya. Karena itu, ia dibri kunyah Ummu Abiha (Ibu bagi bapaknya).

Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalaam mengizinkan para shahabatnya berhijrah ke Madinah, peristiwa itu membutuhkan peran yang sangat besar dari Ali bin Abi Thalib karena memiliki resiko yang tinggi. Dimana Ali bin Abi Thalib diminta menggantikan posisi Rasulullah. Ali pun tiduur di pembaringan Rasulullah untuk mengelabuhui para pemuda Quraisy. Kemudian secara diam-diam selama 3 hari di Mekkah dia berupaya menyampaikan amanat Nabi yang telah berhijrah yaitu memberikan barang-barang titipan untuk orang-orang yang berhak menerimanya.

Fathimah dan Ummu Kultsum tetap berada di Mekkah sampai Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalaam mengutus seorang shahabat untuk menjemput keduanya. Peristiwa itu terjadi pada tahun ke-13 sejak beliau diutus dan saat itu Fathimah telah berusia 12 tahun. Di Madinah ia menyaksikan orang-orang Muhajirin telahmemiliki perasaan yang aman dan rasa ngeri karena keterasingan telah lenyap dari diri-diri mereka. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalaam telah mempersaudarakan antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan beliau menjadikanAli bin Abi Thalib sebagai saudara.

Setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalaam menikahi Sayyidah Aisyah, maka para tokoh-tokoh shahabat berupaya meminang Fathimah Az-Zahra setelah sebelumnya mereka menahan untuk melakukan hal itu karena ia masih bersama ayahnya dan disibukkan dengan berbagai urusan ayahnya.

Abu Bakar dan Umar maju lebih dahulu untuk meminang, tetapi Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalaam menolakdengan lemah lembut yang tinggi. Lalu Ali bin Abi Thalib datang kepada Rasulullah untuk melamar Fathimah. Ali berkata (menceritakan peristiwa tersebut):

”Saya ingin bertemu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalaam untuk melamar Fathimah. Saya berkata: Demi Allah, saya tidak mamiliki harta apapun. Namun kemudian saya ingat akan kedermawanan dan kebaikan Rasulullah. Maka saya pun melamar Fathimah kepada beliau. Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalaam berkata kepadaku: ”Apakah di sisimu ada sesuatu?”

”Tidak ada, ya Rasulullah, ”jawabku.

”Di mana pakaian perangmu yang hitam, yang saya berikan kepadamu? ”tanya Beliau j.

”Masih ada padaku wahai Rasulullah, ”jawabku.

”Berikan itu kepadanya, ”kata Beliau j.

Lalu Ali bergegas pergi dan kembali lagi dengan membawapakaian perang yang dimaksud. Nabi memerintahkannnya untuk menjual pakaian perang tersebut agar uangnya bisa digunakan untuk biaya perkawinan. Utsman bin Affan membeli pakaian perang tersebut dengan harga 470 dirham. Lalu Ali menyerahkan uang tersebut kepada Rasulullah j. Beliau memberikan uang itu kepada Bilal supaya memakai sebagian untuk membeli parfum. Sisanya Beliau berikan kepada Ummu Salamah supaya ia membelikan perlengkapan pengantin.

Kemudian Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalaam mengundang para shahabatnya. Rasulullah menjadikan mereka sebagai saksi bahwa sesungguhnya beliau menikahkan Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib dengan mahar 400 mistqal perak sebagai pelaksanaan sunnah (ajaran Nabi) yang tetap dan kewajiban yang harus dilaksanakan.

Beliau menutup khutbah pernikahan dengan memintakan berkah bagi kedua mempelai dan memintakan keturunan yang baik untuk keduanya. Kemudian beliau menyuguhkan bejana yang berisi korma kepada para shahabat.

Pada malam pengantin saat Fathimah Az-Zahra akan menemui pahlawan Islam yakni Ali bin Abi Thallib, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalaam memerintahkan Ummu salamah agar mengantar pengantin puteri kepada Ali di tempat yang telah di persiapkan untuk tinggal keduanya. Beliau menghendaki agar mereka berdua nantinya menetap di sana.

Setelah shalat Isya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalaam pergi menemui keduanya. Kemudian beliau meminta air, berwudhu darinya, kemudian beliau mengucurkan air wudhu tersebut kepada keduanya dan beliau berdo’a:

”Ya Allah Ya Tuhan kami, berkahilah keduanya dan curahkanlah berkah atas keduanya, serta berkahilah keturunan keduanya.”

Kaum muslimin merasa gembira atas pernikahan Fathimah Az-Zahra dengan Al-Imam Ali. Datanglah Hamzah, paman Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalaam dan juga paman Ali dengan membawa 2 ekor kambing kibas,lalu menyembelihnya, kemudian dia menjamu orang-orang Madinah.

Setelah 1 tahun pernikahan mereka berlalu, Fathimah melahirkan cucu laki-laki untuk Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalaam pada tahun ke-3 Hijriyah. Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalaam sangat gembira dengan kelahiran Al-Hasan. Beliau mengumandangkan adzan pada telinganya, mentahniknya dan menamakannya Hasan. Beliau pula yang membersihkan kotoran dari kepala Hasan (mencukur rambut) dan bershadaqah untuk para fakir miskin dengan perak seberat rambutnya. Saat umur Hasan genap 1 tahun lahirlah Husain pada bulan Sya’ban tahun ke-4 Hijriyah.

Hati Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalaam amat suka cita atas keberadaan 2 cucunya yang mulia. Beliau (bisa) melihat ada suatu keistimewaan pada keduanya karena kehidupan beliau yang khusus di atas bumi ini. Beliau melimpahi keduanya dengan kecintaan dan kasih sayang yang besar. Tatkala ayat yang mulia diturunkan:

”Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Al-Ahzab: 33)

Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalaam (saat itu) berada di sisi Ummu Salamah. Lalu beliau memanggail Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, kemudian beliau menutupi mereka dengan kain dan berdo’a:

”Ya Tuhan kami, mereka adalah keluargaku (ahlul baitku), maka hilangkanlah kotoran (dosa) dari mereka, dan sucikanlah mereka dengan kesucian yang benar.”

Beliau mengucapkannya 3 kali, kemudian berdo’a:

”Ya Allah Ya Tuhan kami, jadikanlah shalawat Engkau dan berkah Engkau kepada keluarga Muhammad sebagaimana Engkau menjadikannya kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia.”

Buah dari do’a yang penuh berkah itu menghasilkan keberkahan yang beruntun. Pada tahun ke-5 Hijriyah Fathimah Az-Zahra melahirkan anak perempuan dan kakeknya (Nabi j) menamakannya Zainab. Setelah 2 tahun dari kelahiran Zainab, ia melahirkan anak perempuan lagi dan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalaam memberi nama untuknya dengan nama Ummu Kultsum.

Dengan demikian Allah telah melimpahkan nikmat yang sangat besar kepada Fathimah. Allah telah membatasi keturunan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalaam pada anaknya dan dengan itu Dia telah menjaga keturunan yang mulia yang diketahui oleh manusia. Sesungguhnya kecintaan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalaam kepada Fathimah memiliki tempat tersendiri. Ketika beliau datang dari safar (misalnya), beliau masuk masuk masjid lalu shalat 2 rakaat kemudian mendatangi Fathimah lebih dulu baru mendatangi para istrinya.

Aisyah Ummul Mukminin berkata: ”Saya tidak melihat seseorang yang perkataan dan pembicaraannya paling menyerupai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalaam selain Fathimah. Jika Fathimah masuk menemui Rasulullah maka beliau berdiri menuju kepadanya, menciumnya dan menyambutnya. Seperti itu juga Fathimah berbuat terhadap beliau j.”

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalaam telah mengungkapkan rasa cinta kepad puterinya ini tatkala beliau berkata di atas mimbar:

”Sesungguhnya Fathimah bagian dari saya, barang siapa yang membuatnya marah, maka dia telah membuatku marah.”

Dalam riwayat lain:

”Sesungguhnya Fathimah adalah bagian dari saya, mendustakan saya apa-apa yang mendustakannya dan menyakiti saya apa-apa yang menyakitkannya.”

Selain beliau memiliki kecintaan yang sangat besar, Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalaam juga menjelaskan kepada Fathimah dan yang lainnya bahwa setiap orsng harus memiliki amal dan perbekalan taqwa. Pada suatu hari beliau berdiri lalu berkata:

”Wahai kaum Qurasiy, belilah diri-diri kalian, karena saya tidak bisa memberikan manfaat sedikitpun dari Allah untuk kalian. Wahai…wahai…wahai Fathimah binti Muhammad, mintalah kepada saya apa yang engkau inginkan dari harta saya. Sesungguhnya saya tidak bisa memberikan manfaat sedikitpun dari Allah untuk kalian.”

Dalam satu riwayat:

”Wahai Fathimah binti Muhamad, selamatkan dirimu dari api neraka, sesungguhnya aku tidak mampu (menolak) bahaya dan (memberi) manfaatdari Allah untuk engkau…”

Diririwayakan dari Tsauban, dia berkata:

”Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalaam masuk menemui Fathimah dan saya bersama beliau. Fathimah memegangi lingkaran kalung pada lehernya, kemudian ia berkata: ”Abdul Hasan (Ali bin Abi thalib) telah mnghadiahkan ini kepadaku.” Maka beliau berkata: ”Wahai Fathimah, apakah engkau senang kalau manusia berkata kepada engkau: Fathimah binti Muhammad di tangannya ada lingkaran api?”

Beliau mencerca dan mencela puterinya dengan celaan yang sangat keras, kemudian keluar dan tidak duduk. Maka Fathimah melepas kalung itu lalu menjualnya dan uangnya dipakai untuk membeli budak lalu ia memerdekakannya. Ketika sikapnya itu terdengar oleh Rasulullah j, maka beliau berkata:

”Segala puji bagi Allah, Dzat yang telah menyelamatkan Fathimah dari api neraka.”

Inilah kedudukan yang telah dicapai Fathimah di sisi Rasulullah. (Meski demikian) hal itu tidak menghalangi beliau untuk mencerca dan mencelanya. Bahkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalaam memperingatkannya bahwa sesungguhnya beliau tidak bisa memberikan manfaat sedikitpun terhadapnya dari (adzab) Allah.

Rasulullah mengancam jika ia mencuri, maka beliau akan menegakkan hukuman kepadanya dan memotong tangannya. Sebagaimana yang terdapat dalam hadist wanita Al- Makhzumiyah yang telah mencuri dan kaumnya meminta pertolongan untuknya melalui kesayangan beliau yaitu Usamah bin Zaid bin Haritsah.

Disebutkan dalam hadist:

”Demi Allah, kalau Fathiamah puteri Muhammad mencuri, tentu saya memotong tangannya.”

Bahkan lebih dari itu, sesungguhnya bagian dari cinta Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalaam adalah beliau bersikap keras terhadap Fathimah. Sampai beliau lebih mengutamakan para fakir miskin dalam keadaan ia mengalami kehidupan yang sempit dan keras.

Ali berkata kepada Fathimah: ”Sesungguhnya engkau telah merasakan kesulitan dan kerepotan (dalam mengurusi rumah tangga) wahai Fathimah, sehingga aku engelus dadaku (karena merasa kasihan). Sesungguhnya Allah telah mendatangkan tawanan, maka pergilah engkau (kepada ayahmu) dan mintalah seorang wanita yang akan menjadi pelayan bagimu.”

Fathimah berkata: ”Akan saya lakukan insya Allah.” kemudian ia mendatangi Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalaam . Tatkala melihatnya, Rasulullah merasa gembira dan bertanya: ”Apa yang engkau inginkan wahai puteriku?” Fathimah berkata: ”Saya datang untuk memberikan salam kepada ayah.”

Ia merasa malu untuk mengutarakan permintaannya dan ia pun kembali. Namun Fathimah datang lagi dengan ditemani suaminya. Ali menyebutkan tentang keadaan Fathimah kepada Rasulullah. Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalaam berkata kepadanya: ”Tidak. Demi Allah saya tidak akan memberi kepada kalian berdua (dalam keadaan) saya tinggalkan Ahlus Suffah (orang-orang miskin yang tinggal di sekitar masjid Nabi) dalam keadaan perut-perut mereka melilit. Saya tidal mendapati sesuatu yang bisa saya infakkan untuk mereka.”

Keduanya pun kembali ke rumahnya. Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalaam mendatangi rumah Ali dan Fathimah, sedangkan mereka berdua dalam keadaan memakai selimut. Jika keduanya menutupkan (selimut tersebut) ke kepala maka telapak kaki mereka tampak, jika keduanya menutupi telapak kaki, maka kepala keduanya terbuka. Keadaan ini menggugah (perasaan) Nabi j.

Beliau berkata: ”Tetaplah kalian di tempat kalian (dan tidak usah berdiri untuk menyambutku)! Maukah kalian kuberitahu tentang suatu amalan yang lebih baik daripada yang kalian minta?”

”Mau, wahai Rasulullah, ”jawab mereka berdua.

Beliau berkata: ”Yaitu beberapa kalimat yang diajarkan Jibril kepadaku, bacalah ssetelah shalat tasbih 10 kali, tahmid 10 kali, dan takbir 10 kali. Kemudian jika kallian berdua hendak tidur, bacalah tasbih sebanyak 33 kali, tahmid 33 kali dan takbir sebanyak 33 kali. Hal itu lebih baik bagi kalian berdua dari seluruh pelayan.”

Ali berkata: ”Demi Allah, saya tidak akan meninggalkan bacaan tersebut sejak beliau mengajarkannya kepadaku.”

UMMU KALTSUM Puteri Ketiga

UMMU KULTSUM BINTI RASULULLAH, WANITA YANG TERPENJARA DI LEMBAH

Ia adalah wanita yang memiliki tubuh padat berisi, wajah yang sangat cantik dengan kedua pipi lurus dan panjang (oval). Bapaknya Shalallahu ‘alaihi wassalaam menamakannya Ummu Kultsum. Ia dilahirkan setelah saudarinya (Ruqayyah), sehingga keduanya memiliki pertumbuhan yang sama, sangat dekat dan akrab sertasaling menyayangi seakan-akan seperti saudara kembar.

Saat mencapai usia yang matang, Ruqayyah dan Ummu Kltsum secara bersamaan dilamar oleh kedua anak Abu Lahab yaitu ’Utbah dan ’Utaibah. Tetapi Allah menghendaki kebaikan bagi keduanya, sehingga mereka dikembalikan secara bersama-sama dikarenakan adanya dorongan dari musuh Allah, Abu Lahab yang berkata kepada kedua anaknya: ”Haram kepalaku menjadi bagian dari kedua kepala kalian jika kalian tidak menceraikan kedua anak perempuan Muhammad.”

Demikianlah, dengan perceraian ini Ummu Kultsum selamat dari penderitaan hidup bersama wanita pembawa kayu bakar (istri Abu Lahab). Sebagaimana Ruqayyah juga selamat, yang tidak lama kemudian menikah dengan Utsman bin Affan serta berhijrah bersamnya ke Habasyah. Ummu Kultsum tetap bersama saudarinya yang kecil yaitu Fathimah di rumah ayah mereka Shalallahu ‘alaihi wassalaam di Mekkah menyertai ibu mereka, Khadijah Ummul Mukminin dalam menahan beban kehidupan. Mereka berdua berupaya meringankan gangguan kaum Quraisy yang didapati ayahnya. Tatkala kaum Quraisy telah mencapai titik kemarahan yang paling tinggi, mereka memutuskan untuk melakukan pemboikotan terhadap kaum muslimin dan orang-orang dari Bani Hasyim.

Pemboikotan itu -yang merupakan salah satu bentuk kejahatan- berupa tekanan ekonomi dan pemutusan hubungan kemasyarakatan. Di lembah itu, Ummu Kultsum sebagaiman kaum muslimin lainnya, merasakan penderitaan pemboikotan dan penderitaan karena kelaparan sehingga mereka makan daun-daunan. Mereka mengalami kondisi demikian selama 3 tahun.

Ummu Kultsum pada masa-masa itu menanggung beban tanggungjawab yang sangat besar. Dikarenakan ibunya Khadijah, akibat tekanan pemboikotan tersebut sampai tergeletak di atas tempat tidur karena menderita sakit keras. Sementara saudari kecilnya yaitu Fathimah Az-Zahra membutuhkan penjagaan dan perhatian. Hanya Ummu Kultsum yang merawat ibu dan menjaga saudari kecilnya tersebut serta meringankan penderitaan dan kesedihan ayahnya.

Ketika kaum muslimin terlepas dari pemboikotan, keimanan mereka semakin bertambah dan memiliki kemantapan yang teguhdalm menghadapi ujian yang keras. Sementara itu di dalam rumah Nabi, Khadijah Ummul Mukminin sedang menghadapi saat-saat terakhir dan 3 anak puterinya yaitu Zainab, Ummu Kultsum dan Fathimah mengelilinginya. Suami yang tercinta Shalallahu ‘alaihi wassalaam juga berada di sisinya sambil berupaya meringankan beban sakaratul maut dan memberikan kabar gembira kepadanya tentang kenikmatan yang kekal yang telah Allah janjikan kepadanya.

Pada tanggal 10 Ramadhan tahun ke-10 dari masa beliau diutus sebagai Rasul, ruh yang suci itu beralih ke sisi Tuhannya I. Sejak itu Ummu Kultsum menjadi penanggung jawab yang utama di rumah Nabi yang mulia itu. Ketika kaum Quraisy mengalami kegagalan dalam upaya penekanan ssecara politik, ekonomi dan kemasyarakatan, muncul ide lain yaitu rencan melakukan pembunuhan terhadap Nabi j. Namun Allah memberitahu beliau tentang makar yang direncanakan para musuh Allah itu secara sembunyi-sembunyi.

Allah memerintahkan Rasulullah untuk berhijrah ke Yasrib (Madinah). Kaum muslimin pun berhijrah ke tempat yang mulia lagi kuat dan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalaam berhijrah dengan ditemani shahabatnya Abu Bakar As-Shiddiq. Sedangkan Ummu Kultsum dan Fathimah diperintahkan tetap berada di kota Mekkah. Namun karena sangat mengkhawatirkan keselamatan keduanya, beliau Shalallahu ‘alaihi wassalaam mengutus Zaid bin Haritsah agar mengawal mereka berdua menuju Yasrib.

Setelah 2 tahun di Madinah, Ummu Kultsum menyaksikan ayahnya kembali dari perang Badar dengan membawa mahkota kemenangan. Sebagai ia menyaksikan saudari kandungnya Ruqayyah istri Utsman bin Affan wafat akibat penyakit yang dideritanya.

Pada awal tahun ke-3 Hijriyah, Ummu Kultsum melihat selintas Utsman yang sering mondar-mandir kepada ayahnya untuk mencari hiburan dan bantuan atas kematian istrinya yang sangat dicintai.

Kemudian pada suatu hari Umar Ibnul Khathtab menemui Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalaam mengadu dan marah terhadap sikap Abu Bakar dan Utsman tatkala dia menawarkan puterinya Hafshah kepada keduanya, tetapi mereka tidak memberikan jawaban sedikitpun. Lalu Ummu Kultsum mendengar bapaknya Shalallahu ‘alaihi wassalaam ketika berkata kepada Umar dengan lemah lembut:

”Hafshah akan menikah dengan orang yang lebih baik dari Utsman dan Utsman akan menikah dengan wanita yang lebih baik dari Hafshah.”

Hati Ummu Kultsum bergetar. Denngan kecerdasannya ia mengetahui bahwa dirinya akan menjadi istri Utsman, sebab tidak ada wanita yang lebih baik dari puteri Umar kecuali puteri Nabi.

Saat ia sedang termenung untuk membayangkan kenangan bersama Ruqayyah sebagai teman hidupnya, tiba-tiba ia dipanggil Rasulullah j. Beliau memberitahu kabar pernikahannya dengan Utsman bin Affan.

Akhirnya ikatam pernikahan dengan Utsman pun sempurna. Dan sejak hari itu Rasulullah memberi julukan Utsman bin Affan dengan sebutan Dzunnurain (yang memiliki dua cahaya) karena tidak seorang pun yang telah menurunkan hijab (turun ranjang –pent.) kepada kedua puteri Nabi selain Utsman.

Kemudian Ummu Kultsum beralih ke rumah suaminnya dan hidup bersamanya selama 6 tahun. Selanjutnya ia melihat kemuliaan islam dengan mencapai puncak kemenangan. Ia menyaksikan bapaknya Shalallahu ‘alaihi wassalaam keluar dari satu peperangan ke peperangan yang lain dengan diberi kekuatan dan kemenangan. Suaminya Dzunnurain menyertai dan berjihad dengan jiwa dan hartanya bersama beliau.

Ummu Kultsum mendapati hari kemenangan yang paling besar yaitu ditaklukkannya kota Mekkah. Peristiwa menyebabkan hatinya rindu untuk menziarahi kubur ibunya. Namun belum sampai keinginan itu terwujud, kematian telah mendatanginya pada bulan Sya’ban tahun ke-9 Hijriyah. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalaam membuatkan bantal untuknya di sisi makam kawannya di masa kecil yaitu Ruqayyah. Semoga Allah merahmati Ummu Kultsum. Sesungguhnya ia memiliki andil yang besar dalam memikkul beban dakwah kepada Allah, di mana ia telah merasakan masa-masa yang siksaan, masa-masa dakwah yang sangat sulit dan hari-hari jihad yang sangat keras.

RUQAYYAH, Puteri Ke dua

RUQAYYAH, WANITA YANG BERHIJRAH DUA KALI

Ruqayyah dilahirkan ke dunia setelah saudaranya yang bernama Zainab. Tidak selang berapa lama lahirlah saudaranya Ummu Kaltsum sehingga keduanya membesar bersama-sama, berkumpul dan bermain bersama dengan saling menyayangi. Setelah Zainab menikah dengan Abdul Ash bin Ar-rabi’, Ummu Kaltsum dan Ruqayyah pun telah menghampiri usia untuk menikah juga.

Datanglah utusan dari keluarga Abdul Muthalib kepada Nabi , Abu Thalib mengajukan pinangan kedua puteri beliau untuk kedua anaknya Abdul Uzza bin Abdul Muthalib (lebih dikenal dengan nama Abu Lahab) yaitu Utbah dan Utaibah. Ketika itu Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalaam belum diutus menjadi nabi dan rasul. Disetujuilah lamaran itu oleh Rasulullah . Kepada utusan yang mengajukan lamaran itu, beliau minta untuk membicarakan urusan ini kepada keluarga dan (terutama kepada) kedua puterinya sebagai pihak yang akan menjalani pernikahan tersebut.

Khadijah diam tidak memberi sebarang bantahan apapun. Ia khuatir jika menyampaikan suatu pendapat akan membuat kemarahan kepada suaminya. Atau khuatir munculnya prasangka bahwa dia ingin memecah belah kekerabatan antara beliau dengan keluarganya. Sementara kedua puteri Rasulullah (hanya) diam karena perasaan malunya. Akhirnya sempurnalah urusan. Kemudian diselenggarakan pernikahan tersebut dan ayah yang penuh kasih ini mengucapkan keberkahan kepada kedua pengantin dan menyerahkan urusan kebahagiaan keduanya hanya kepada Allah.

Ketika Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalaam mendapat risalah dari Tuhannya dan menyeru kepada ajaran yang benar, datanglah kepada kaum Quraisy ke rumah Abu Lahab dan berkata: ”Sesungguhnya kalian telah selesai urusannya dengan Muhammad maka kembalikanlah anak-anak puterinya kepadanya dan sibukkan dia dengan mereka!” Kemudian Abu Lahab mendatangi rumah kedua anaknya dan mengatakan: ”Haram kepalaku menjadi bagian dari kepala kalian jika kalian berdua tidak menceraikan kedua puteri Muhammad.”

Maka kembalilah kedua gadis itu ke pangkuan orang tuanya dalam keadaan malam pengantin belum sempurna. Tidaklah Abu Lahab dan istrinya (Ummu Jamil si penebar fitnah) merasa cukup dengan apa yang telah diucapkan dan dilakukan kepada Rasulullah. Mereka bahkan melakukan penyerangan secara fisik kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalaam sehingga Allah menurunkan firman-Nya:

”Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah harta bendanya dan apa yang ia uasahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, si pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut.” (Al-Lahab: 1-5)

Bagi rumah tangga yang diliputi dengan keimanan ini, semua ujian yang datang dari Allah tidak menambah kecuali keteguhan dan keutuhan. Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalaam (sebelumnya) telah mengingatkan isterinya yang ikhlas akan hal tersebut (yaitu datangnya berbagai ujian) semenjak hari-hari pertama diutus: ”Sungguh telah berlalu masa bersantai, wahai Khadijah.”

Sadarlah Khadijah yang dimaksud dengan kalimat tersebut dan ia menyiapkan jiwanya untuk berdiri di samping suami sebagai seorang nabi. Selalu diberikannya sokongan moral dan (bahkan) harta benda untuk meringankan beban penderitaan mental dan fisik yang dialami oleh suami tercinta. Sehingga dengan itu lenyaplah berbagai kegelisahan dan kegundahan berganti dengan ketenangan dan ketentraman.

Demikian pula kedua puterinya Ruqayyah dan Ummu Kaltsum memahami apa yang dimaksud ayahnya. Oleh karena itu mereka berdua selalu mentaati bimbingan ayahnya (dalam menghadapi) apa saja yang menimpa mereka di jalan Allah, yaitu persiapan untuk menanggung beban penderitaan dengan segala macam bentuknya.

Maka hilanglah sangkaan si penebar api fitnah dan suaminya (Abu Lahab), dan sangkaan kaum musyirikin Quraisy saat melihat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalaam tidak terpengaruh emosinya oleh perbuatan mereka mengembalikan kedua puterinya. Beliau pun tidak mempersulit proses perceraian mereka dan sungguh Allah telah menyelamatkan keduanya dari ujian hidup bersama kedua anak Abu Lahab.

Allah (bahkan) telah mengganti untuk keduanya sesuatu yang lebih baik dari kedua bekas suaminya. Allah pilihkan seorang suami yang shaleh lagi mulia dari kelompok 8 orang yang telah masuk dalam Islam. Dia adalah Utsman bin Affan bin Abil bin Ash bin Umayyah bin Abdi Syams, salah satu dari 10 orang yang diberi khabar dengan syurga sekaligus seorang pemuda Quraisy yang paling baik nasabnya.

Menikahlah Utsman bin Affan dengan Ruqayyah. Sehingga hal ini membuat orang-orang Quraisy semakin membara kemarahannya. Mereka bertambah bingung dengan urusan kelompok kecil manusia yang berada di sekeliling Muhammad. Mereka tidak pernah ragu untuk berkorban baik dengan harta ataupun nyawa.

Gangguan yang dilakukan kaum Quraisy terhadap kaum muslimin (para shahabat) semakin dahsyat sehingga Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalaam mengizinkan mereka untuk hijrah ke Habasyah dalam rangka menyelamatkan agama dan untuk menghindari fitnah. Dan Utsman bin Affan merupakan orang yang pertama kali berhijrah ke negeri Habasyah. Ia berhijrah bersama isteri tercinta Ruqayyah padahal ketika itu keduanya baru saja melangsungkan pernikahan.

Pemuda bani Umayyah ini meninggalkan tanah kelahiran nenek moyangnya, tempat tinggalnya yang berharga, dan meninggalkan orang-orang yang paling dicintai menuju negeri yang jauh guna melangsungkan kehidupan sebagai oarang yang asing. Akan tetapi (disisinya) ikut serta penyejuk hatinya yaitu anak puteri pemimpin anak Adam, Ruqayyah. Ia memperingankan beban yang ada pada suaminya dengan ucapan: ”Allah akan selalu bersama kita dan bersama orang-orang yang kita tinggalkan meskipun kita terpaksa meninggalkan kedekatan kita dengan Baitul Atiq.”

Ketika sampai di negeri Habasyah mereka disambut dengan hangat oleh Raja Najasyi. Mereka tinggal di sana menikmati kebebasan menjalankan agama dan ibadah kepada Allah. Raja Najasyi tidak menyulitkan keberadaan mereka selama di negerinya. Kecuali apa yang disusupkan oleh kaum Quraisy ke hadapan Najasyi berupa berita-berita tentang keluarga mereka di Mekkah daripada berita tentang penindasan dan siksa yang mereka lakukan.

Hari pun terus berganti. Kaum Muhajirin (di negeri Habasyah) semakin sering mencari berita tentang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalaam di dalam berdakwah menghadapi kethaghutan kaum musyirikin Quraisy. Saat itu mereka mendengar tentang keislaman Hamzah bin Abdul Muthalib dan Umar bin Khathtab (yang menyebarkan kaum muslimin yang kuat). Berpindahlah marhalah yang baru sehingga memberikan pengaruh kepada sebagian mereka untuk kembali kepada orang-orang yang dicintai seperti keluarga dan juga tanah kelahiran.

Utsman bin Affan dan istrinya Ruqayyah termasuk orang yang bertekad untuk kembali. Akan tetapi belum sempat kaki mereka menginjak tanah kelahiran, mereka sudah dikejutkan oleh bertambahnya sikap permusuhan orang-orang Quraisy mereka diancam akan dibuat menderita dan akan dibinasakan. Sehingga sebagian kaum Muhajirin berlindung di tempat Al-Walid bin Al-Mughirah Al-Makhzumi dan Abu Thalib bin Abdul Muthalib.

Ruqayyah termasuk orang yang kembali yang paling sedih karena dia dikejutkan oleh kematian ibunya yang tercinta Khadijah. Akan tetapi ia harus bersabar atas Allah yang telah tentukan dan tetapkan dan disifatilah Ruqayyah sebagai seorang wanita muda yang berjihad lagi penyabar.

Tidak lama Ruqayyah tinggal di Mekkah, kaum muslimin sudah melaksanakan hijrah ke Madinah bersama Rasulullah. Pindahlah Ruqayyah disertai suaminya menuju Darul hijrah yang baru dan di sanalah Ruqayyah melahirkan anaknya yang bernama Abdullah sehingga terciptalah kebahagiaan di tengah mereka berdua sebagai pengganti pedihnya adzab yang telah berlalu.

Akan tetapi kegembiraan itu tidak berlangsung lama, karena anak itu meninggal dalam usia 6 tahun disebabkan oleh patukan seekor ayam. Dan kesan kematian anak ini menyebabkan Ruqayyah ditimpa sakit panas yang mengharuskan suami yang penyayang ini tetap tinggal mendampingi isteri dan menjalankan semua urusannya di dalam rumah. Tidak berselang lama Utsman mendengar seruan untuk berjihad dan keluar menuju ke Badar, segeralah bangkit semangatnya untuk turut serta menyambut seruan yang agung itu. Akan tetapi Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalaam memerintahkan kepadanya....

ZAINAB AL- KUBRRA

ZAINAB AL- KUBRRA, WANITA YANG MENEBUS SUAMINYA

Zainab dilahirkan 10 tahun sebelum ayahnya, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalaam diutus sebagai Nabi. Dia adalah anak pertama dari pernikahan beliau dengan Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid. Zainab tumbuh di rumah Nabi dengan diwarnai akhlak dan kebiasaan orang tuanya yang sangat mulia. Ayahnya adalah manusia yang diutus sebagai rahmat bagi alam. Beliau memiliki akhlak yang sangat agung. Begitu pula ibunya, Khadijah sebagai pemimpin wanita di alam ini. Tak heran, dalam hal sifat-sifat yang terpuji Zainab menjadi wanita teladan.

Ketika umurnya masih belia, ia dilamar oleh anak laki-laki bibinya yang bernama Abdul Ash bin Rabi’. Ia penduduk Mekkah yang tergolong mulia dan berharta lagi murni berdarah Quraisy. Dari arah bapak, nasabnya bertemu dengan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalaam dari sisi Abdu Manaf bin Qushay. Sementara dari arah ibu nasabnya bertemu dengan Zainab puteri Nabi.. dari sisi kakeknya yang paling dekat yaitu Khuwailid. Karena bibi Abdul Ash adalah Halah binti Khuwailid saudarinya Khadijah istri Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalaam.

Abdul ‘Ash mengenal lebih dekat Zainab dan sifat-sifatnya tatkala ia datang ke rumah bibinya. Demikian pula Zainab dan kedua orang tuanya mengenal Abdul Ash memiliki perangai yang bagus. Karena itu, dengan cepat dia disukai oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalaam, Khadijah dan juga oleh Zainab sendiri. Zainab pun kemudian pindah ke rumah suaminya dan di usia yang relatif masih muda ia mampu menumbuhkan kebahagiaan dan kesenangan untuk suaminya. Allah menganugerahkan 2 anak kepada suami istri tersebut (Ali dan Umamah). Dengan hadirnya ke-2 anak itu maka kebahagiaan rumah tangga mereka menjadi sempurna. Di dalamnya penuh dengan kebahagiaan dan ketenangan.

Ketika Abdul Ash dalam sebuah perjalanan, terjadilah peristiwa besar dalam kehidupan manusia, yaitu diangkatnya Muhammad sebagai Rasul. Zainab pun condong kepada dakwah yang disampaikan orang tuanya dan menjadikan agama Allah sebagai jalan dan aturan hidup bagi dirinya.

Ketika suaminya kembali dari perjalanannya, Zainab mengabarkan kepadanya tentang agama baru yang muncul di saat dia pergi. Ia mengira suaminya akan bergegas mengumumkan keislamannya. Namun betapa terkejutnya Zainab ketika mendapati suaminya diam dan lemas mendengar kabar tersebut.

Zainab berupaya menenangkan suaminya dengan berbagai cara. Suaminya kemudian berkata: ”Demi Allah, bagi kami bapakmu bukanlah orang yang tercela. Teapi saya tidak mau dikatakan ’Aku telah merendahkan kaumku dan telah mengkufuri agama bapakku,’ dalam rangka menyenangkan istriku.” Zainab sangat bersedih saat suaminya tidak mau masuk Islam. Kerisauan dan kegelisahan pun segera meliputi suasana rumah mereka dan kebahagiaan pun berubah menjadi seperti ’neraka’.

Zainab tetap tinggal di Mekkah di rumah suaminya. Sementara di sekitarnya tidak ada orang yang meringankan kepedihan karena kedua orang tuanya jauh darinya. Ayah dan shahabat-shahabatnya telah hijrah ke Madinah Munawwarah, ibunya telah kembali kepada Allah dan saudari-saudarinya ikut orang tua menuju negeri hijrah.

Tatkala perang Badar berkobar, kaum musyirikin mengajak Abdul Ash ikut bersama mereka memerangi kaum muslimin. Dalam perang itu ia menjadi tawanan kaum muslimin. Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalaam memeriksa tawanan perang, Abdul Ash pergi menjauh. Beliau berkata kepada para shahabatnya: ”Berilah wasiat kebaikan kepada para tawanan.”

Kemudian Zainab mengirim tebusan untuk suaminya berupa harta yang diserahkan kepada bapaknya yaitu kalung yang merupakan hadiah dari ibunya (Khadijah) saat ia menikah dengan Abdul ’Ash. Saat melihat kalung tersebut, hati Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalaam berdebar-debar karena ingat istrinya yang selalu menepati janji, yang telah menghadiahkan kalung tersebut kepada puterinya. Dan Zainab tidak memiliki sesuatu yang lebih berharga dari kalung tersebut untuk dijadikan tebusan bagi suaminya. Rasul Shalallahu ‘alaihi wassalaam dan para shahabatnya menundukkan kepalamelihat kejadian yang sangat mengharukan ini.

Setelah lama terdiam, diiringi rasa kasih dan haru beliau Shalallahu ‘alaihi wassalaam berkata kepada para shahabatnya: ”Jika kalian setuju untuk melepaskan dia dan menembalikan tebusan ini kepadanya, maka lakukanlah.” Lalu mereka berkata: ”Ya, wahai Rasulullah. ”Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalaam kemudian meminta Abdul ’Ash berjanji untuk menceraikan Zainab, karena Islam telah memisahkan keduanya.

Selanjutnya Abdul ’Ash kembali ke Mekkah dan disambut Zainab dengan wajah berseri-seri. Namun wajah Abdul ’Ash justru menampakan kebencian dan kesedihan. Dia berkata sambil menundukkan kepala: ” Saya datang kepadamu adalah untuk menyampaikan perpisahan wahai Zainab.” Rasa senang dan gembira Zainab seketika berubah menjadi kesedihan dan mengalirlah air matanya. Dalam keadaan bingung ia berkata: ”(Engkau) hendak pergi kemana? Kenapa harus demikian, wahai suamiku sayang?”

Sambil memalingkan pandangannya dari Zainab, Abdul ’Ash berkata: ”Yang pergi bukanlah saya wahai Zainab, tetapi engkau. Sesungguhnya ayahmu telah memintaku agar saya mengembalikan engkau kepadanya karena Islam telah memisahkan kita. Saya telah berjanji kepadanya untuk membiarkan engkau pergi dan saya bukan orang yang (suka) membatalkan perjanjian.

Zainab kemudian keluar dari Mekkah dan berpisah dengan Abdul Ash suaminya, dengan perpisahan yang sangat mengharukan. Namun orang-orang Quraisy menghalangi kepergiannya dengan menakuti-nakutinya. Akibat perbuatan orang-orang Quraisy itu, Zainab yang saat itu sedang hamil mengalami keguguran. Ia pun kembali ke Mekkah. Abdul ’Ash menjaga Zainab hingga kekuatannya pulih.

Pada suatu hari tatkala orang-orang Quraisy lengah dalam mengawasi Zainab, Abdul ’Ash membawa Zainab beserta saudaranya (Kinanah bin Rabi’) pergi dari Mekkah dan mengantarkannya ke tempat yang aman di sisi Rasulullah.

(Waktu terus berjalan). (Tak terasa) 6 tahun telah berlalu dengan diiringi berbagai peristiwa besar. Selama dalam penjagaan ayahnya di Madinah Zainab senantiasa berharap agar Allah melapagkan dada Abdul ’Ash menerima Islam.

Pada bulan Jumadil ’Ula tahun ke-6 Hijriyah, Abdul ’Ash datang ke tempat Zainab. Saat membuka pintu, Zainab hampir tidak percaya terhadap apa yang ia lihat. Ia ingin mendekati Abdul ’Ash untuk menyampaikan salam tetapi ia tiba-tiba berhenti. Ia harus memiliki kemantapan (sebelum menerima kembali Abdul ’Ash). Karenanya ia banyak bertanya tentang aqidah dari awal sampai akhir.

Abdul ’Ash kemudian menjawab: ”Wahai Zainab, saya datang ke Yasrib (Madinah) dengan tidak membawa senjata (bukan untuk berperang). Saya keluar hanya untuk berdagang dalam rangka mengembangkan harta pribadi dan untuk beberapa orang Quraisy. Lalu kami berjumpa dengan sekelompok pasukan ayahmu yang di dalamnya ada Zaid bin Haritsah bersama 170 orang. Mereka telah merampas apa saja yang ada pada saya, dan saya (berhasil) melarikan diri. Saya datang kepadamu untuk bersembunyi dan mencari perlindungan.”

Zainab yang merupakan anak dari wanita yang beraqidah mulia ia berkata dengan suara pedih: ”Selamat datang anaknya bibi, selamat datang Abu Ali dan Abu Umamah.”

Tatkala Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalaam shalat fajar, Zainab berdiri sambil berteriak yang sangat keras: ”Wahai manusia, sesungguhnya saya memberikan perlindungan kepada Abdul ’Ash bin Rabi’.”

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalaam keluar dan berkata: ”apakah kalian mendengar apa yang saya dengar?” Mereka menjawab: ”Ya, wahai Rasulullah.”

Beliau bersabda: ”Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, saya tidak mengetahui apa pun sampai saya mendengarseperti yang kalian dengar. Sedangkan orang-orang yang beriman itu merupakan pelindung atas manusia yang lain. Walaupun ia adalah seorang muslim biasa kedudukannya (yakni sebagai seorang rakyat kecil) yang memberi perlindungan (kepada musuh), dan kami menjamin perlindungan kepada orang yang melindungi (musuh).”

Zainab meminta kepada ayahnya Shalallahu ‘alaihi wassalaam agar mengembalikan barang-barang dan harta Abdul ’Ash. Rasulullah pun keluar ke tempat para shahabatnya dan berkata: ”Sesungguhnya keadaan laki-laki ini sebagaimana yang kalian ketahui dan kalian telah merampas hartanya. Jika kalian berbuat baik dan mengembalikan apa yang menjadi miliknya, maka kami menyukai yang demikian itu. Jika kalian enggan, maka itu adalah harta rampasan yang didapat tanpa peperangan dan Allah akan melimpahkan atas kalian. Maka kalian lebih berhak terhadapnya.” Kemudian para shahabat menjawab: ”Kami kembalikan kepadanya wahai Rasulullah!” Lalu mereka mengembalikan semua harta Abdul ’Ash sampai seakan-akan tidak ada yang hilang sedikitpun.

(Setelah itu) Abdul ’Ash meninggalkan Zainab dan kembali ke Mekkah dalam keadaan dirinya memiliki keinginan terhadap sesuatu. Tatkala kaum Quraisy melihat diakembali dengan membawa barang dagangan dan keuntungan, mereka bergembira.

Lalu Abdul ’Ash memberikan hak-hak kepada orang-orang yang berhak, kemudian dia berdiri dan menyeru dengan suara yang sangat tinggi: ”Wahai kaum Quraisy, apakah masih ada harta seseorang dari kalian yang ada di sisiku yang belum diambil?” Mereka berkata: ”Tidak ada. Semoga Allah membalas kebaikan kepada engkau. Sesunguhnya kami telah mendapatimu sebagai orang yang selalu menepati janji lagi orang yang mulia.”

Selanjutnya dia berkata: ”Sesungguhnya saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Demi Allah, tidak ada yang mencegah keislaman saya kecuali (saya) khawatir kalian mengira saya ingin memakan harta kalian. Ketika Allah telah menyampaikan (harta tersebut) kepada kalian dan saya telah menyelesaikan (urusannya), maka barulah saya masuk Islam.”

Abdul ’Ash kemudian pergi menuju Madinah dalam keadaan sudah masuk Islam, berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya dan igin bertemu Muhammad dan para shahabatnya. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalaam pun mengembalikan Zainab kepadanyadan mereka berdua bersatu kembali. Kegembiraan dan kebahagiaan yang (dahulu) telah ada, kini kembali meliputi rumah mereka. Namun sekarang keduanya dikumpulkan oleh aqidah yang satu yang tidak dicemari oleh sesuatu yang tercela.

Setelah setahun berlalu, terjadilah perpisahan yang sesudahnya tidak ada pertemuan lagi di dunia. Pada permulaan di tahun yang ke-8 Hijriyah, Zainab wafat karena penyakit kekurangan tenaga yang disebabkan kebanyakan darah yang eluar yang terjadi padanya sejak ia hijrah.

Abdul ’Ash pun menangis. Namun dia tetap bersabar sehingga membuat oarang yang ada di sekitarnya ikut menangis. Datanglah ayahnya Shalallahu ‘alaihi wassalaam dalam keadaan sedih. Beliau mempercayakan perawatan jenazah Zainab kepada para wanita dan berkata:

”Mandikanlah ia dengan bilangan yang ganjil, tiga kali atau lima kali. Campurkanlah kapur (wewangian) pada bagian yang akhir atau sedikit kapur (wewangian) Jika kalian telah memandikannya, beritahu aku.” Tatkala selesai memandikan, beliau memberikan sesobek kain dan bersabda: ”Pakailah kain ini untuknya.”

Semoga Allah merahmati Zainab Al-Kubra, puteri Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalaam yang sabar, senantiasa melawan kedzaliman serta berjihad. Semoga Allah membalasnya dengan segala kebaikan.

Tegakah hati untuk membunuh anak

Adzab Neraka bagi Pembunuh Kucing Bagaimana dengan Pembunuh Anaknya?

Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu’anhu, diceritakan bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalaam bersabda, “Ada seorang wanita yang diadzab dalam kasus seekor kucing; ia mengurungnya sampai mati, maka ia pun masuk neraka karenanya. Ia tidak memberikannya makan dan minum ketika mengurungnya. Dan ia pun tidak membiarkannya makan dari serangga-serangga bumi.”


Penjelasan hadits:

Wanita yang melakukan hal itu pastilah berhati keras. Karena ia tak sekadar tidak memberi makan dan minum kepada si kucing, bahkan dia juga tidak memberinya kesempatan untuk mencari makanan dari rezeki-rezeki yang melata di bumi. Hal itulah yang kemudian menjadi penyebab kematiannya.

Balasan bagi wanita yang keras hati itu adalah siksa di dunia dan adzab di Akhirat. Hal itu biasa kita pahami dari sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalaam yang menyatakan, “Ada seorang wanita yang diadzab dalam kes seekor kucing; ia mengurungnya sampai mati” kemudian beliau menyatakan, “maka ia pun masuk neraka karenanya.” Ini berarti bahawa di sana ada siksa (hukuman) yang mendahului adzab yang dipersiapkan untuknya di Neraka Jahanam.

Barangkali hal ini biasa menjadi peringatan keras bagi orang yang menganggap adanya siksa Neraka Jahannam atau bahkan sama sekali tidak menganggap keberadaannya. Akan tetapi apabila yang bersangkutan mengetahui adanya seorang wanita yang disiksa di dunia, lantaran ia pernah memperlakukan seekor kucing seperti apa yang dilakukan oleh wanita yang diceritakan di dalam Hadits tersebut, niscaya ia akan menjadikan peristiwa itu sebagai pelajaran dan nasihat.

Dua kata kerja (fi’il) yang terdapat di dalam Hadits tersebut; “diadzab” (‘udzdzibat) dan “masuk” (dakhalat) disampaikan dalam bentuk kata kerja lampau (madhi). Ini dimaksutkan untuk menegaskan kepastian adanya adzab dan masuknya ke dalam Neraka. Ini juga semakin meningkatkan ancaman terhadap wanita yang keras hati, dan menghilangkan semua harapan untuk selamat dari adzab dan api Neraka.

Hadits ini menegaskan bahwa wanita muslimah yang konsisten terhadap agamanya adalah seorang wanita yang penuh kasih sayang. Ia tidak memperlakukan haiwan apapun dengan keras, bagaimana mungkin ia memperlakukan putera-puterinya, suaminya, anak-anak tetangganya maupun yang bukan tetangganya dengan keras?!

Bagaimana dengan wanita yang melemparkan tiga orang anaknya dari jendela, lalu si bungsu menemui ajalnya, sementara dua orang lainnya mengalami patah tulang dan luka berat?! Kenapa? Karena ia bertengkar hebat dengan suaminya dalam hal wang belanja, lalu suaminya memukulnya. Akibatnya, ia pun melemparkan anak-anaknya dari jendela!!

Bagaimana dengan wanita yang mencekik seorang bayi yang usianya tidak lebih dari tiga bulan?!! Penyebabnya ialah bermusuh dengan tetangganya yang mengejeknya sebagai wanita mandul !!! (Koran As-Siyasah, Kuwait, edisi 9562)

Bagaimana dengan wanita dari sebelah timur kota London yang membuang puterinya yang berusia 14 bualn dari jendela apartmennya yang berada di tingkat 3, dan bayi itu pun jatuh ke tanah menjadi bangkai berlumuran darah. Kemudian ia menggigit puteranya yang berusia 2 tahun dan melemparkannya menyusul adiknya, itu pun jatuh ke tanah bermandikan darah?! (Koran Asy-Syarq Al Ausath, Saudi Arabia)

Bagaimana dengan wanita yang merencanakan pembunuhan terhadap puteranya sendiri demi mendapatkan harta warisan darinya? Wanita itu memanfaatkan seseorang yang sedang mememerkukan duit untuk melakukan tugas tersebut?! (Koran AL-Anbaa’, Kuwait, edisi 8 April 1993M)

Kes pembunuhan yang dilakukan wanita terhadap anaknya sendiri amat sangat banyak terjadi. Wanita semacam itu tidak biasa disebut sebagai “ibu”. Karena, ibu yang sejati tidak akan melakukan hal itu.

Setelah membaca paparan di atas, bagaimana mungkin seorang muslimah akan berfikir untuk membunuh anaknya sendiri, sementara dia mengetahui bahwa api Neraka tengah menunggu orang yang membunuh seekor kucing atau menjadi penyebab tewasnya seekor kucing?! Apatah kata orang yang membunuh anaknya sendiri?!

Islam yang mereka tuduh kejam di dalam ketentuan hudud-nya ternyata jauh lebih santun dibandingkan dengan undang-undang manapun yang mereka buat. Islam melindungi setiap hati yang hidup, berpesan untuk kebaikannya, dan memberikan ancaman hukuman kepada siapa saja yang menyakitinya.